Beberapa hari belakangan ini… hm.. saya rasa beberapa minggu belakangan ini, I struggled with this feeling of slapping ‘others’ (others mean more than 1…) due to their incompetence and unwillingness to do whatever they need to do to complete the tasks. Setiap hari yang saya rasakan adalah mangkel dan gondok : Why in the world I should work and deal with those kinds of person? Why can’t I get to choose whoever I want to work with?
Puncaknya adalah kemarin, saat saya akhirnya dengan sengaja mengambil cuti untuk menyelesaikan tugas kuliah yang seharusnya dibuat oleh beberapa anggota kelompok selain saya. Well, they did make it.. but the result was unexpectedly doomed. Dan saya dan anggota kelompok lainnya yakin jika hasil yang dikumpulkan adalah apa yang dibuat itu, nilai saya untuk mata kuliah itu di trimester ini bakalan jeblok. Yang lebih parah, saat saya berkomentar, sang pembuat mengatakan paper itu sudah cukup. Damn.. I had to work my a** off just to clean up other’s mess.
Masalahnya, tugas itu harus dikumpulkan kemarin malam, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengambil cuti dan berkutat di depan laptop untuk merombak (well… saya rasa lebih tepat jika dikatakan menyusun kembali dari nol) pekerjaan mereka mulai pukul 6 pagi sampai 5 sore sebelum akhirnya selesai.
Hari ini saya bangun dengan perasaan sangat lelah, dan hampir seperti zombie saya berangkat ke kantor. Dalam perjalanan, saya merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang saya sering ajukan “Why can’t she support me? Why can’t he do a better job to make me happy? Why can’t they work faster, while I know that they have time to check their friend’s status in facebook?”
Dari hasil melamun sepanjang perjalanan itu, saya menyadari bahwa:
Di saat saya berdoa supaya Tuhan membimbing saya untuk berkarya dengan baik hari ini
Di saat saya meminta Tuhan untuk menggandeng saya untuk berjalan bersamaNya
Di saat saya menyerahkan hidup saya kepada Tuhan setiap pagi sebelum saya bekerja;
Di saat saya memohon Tuhan untuk menerangi akal budi saya dalam bekerja,
Puncaknya adalah kemarin, saat saya akhirnya dengan sengaja mengambil cuti untuk menyelesaikan tugas kuliah yang seharusnya dibuat oleh beberapa anggota kelompok selain saya. Well, they did make it.. but the result was unexpectedly doomed. Dan saya dan anggota kelompok lainnya yakin jika hasil yang dikumpulkan adalah apa yang dibuat itu, nilai saya untuk mata kuliah itu di trimester ini bakalan jeblok. Yang lebih parah, saat saya berkomentar, sang pembuat mengatakan paper itu sudah cukup. Damn.. I had to work my a** off just to clean up other’s mess.
Masalahnya, tugas itu harus dikumpulkan kemarin malam, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengambil cuti dan berkutat di depan laptop untuk merombak (well… saya rasa lebih tepat jika dikatakan menyusun kembali dari nol) pekerjaan mereka mulai pukul 6 pagi sampai 5 sore sebelum akhirnya selesai.
Hari ini saya bangun dengan perasaan sangat lelah, dan hampir seperti zombie saya berangkat ke kantor. Dalam perjalanan, saya merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang saya sering ajukan “Why can’t she support me? Why can’t he do a better job to make me happy? Why can’t they work faster, while I know that they have time to check their friend’s status in facebook?”
Dari hasil melamun sepanjang perjalanan itu, saya menyadari bahwa:
Di saat saya berdoa supaya Tuhan membimbing saya untuk berkarya dengan baik hari ini
Di saat saya meminta Tuhan untuk menggandeng saya untuk berjalan bersamaNya
Di saat saya menyerahkan hidup saya kepada Tuhan setiap pagi sebelum saya bekerja;
Di saat saya memohon Tuhan untuk menerangi akal budi saya dalam bekerja,
I FORGET to pray to God to give the same blessings to those who support and work with me. Saya lupa berdoa untuk mereka. Saya lupa bahwa Tuhan seringkali menolong kita lewat orang lain – lewat anggota kelompok saya, lewat tim kerja saya, lewat atasan saya, lewat siapa saja yang Dia pilih untuk menolong saya dalam hidup ini - dan saya tidak pernah mendoakan mereka supaya bekerja dengan baik. What kind of person am I?
Jawaban atas pertanyaan saya itu mencubit saya sekeras-kerasnya, membangunkan saya dari lamunan ; membangunkan saya dari tidur panjang saya. Maka pagi ini setiba di kantor, saya mendoakan orang-orang yang dipilih Tuhan untuk membantu saya dan berharap semoga itu membuat saya menjadi lebih iklas dan tak lagi menggerutu sepanjang waktu.
Dulu aku sering melihat stiker yang ditempel di mobil atau di pojok-pojok dinding kampus : “Sudahkah Anda berdoa hari ini?”. Sekarang saya harus naik tingkat : tanyakan pada saya “Sudahkah Anda berdoa untuk teammates Anda hari ini?”
ya tuhan, semoga teammates saya dan saya sendiri bisa selalu berpikiran positif, bahwasannya segala kesalahan, kebodohan, ketololan juga kealpaan yang masing-masing kami lakukan adalah sesungguhnya merupakan rangsangan agar masing-masing dari kami berbuat lebih baik dari kesalahan yang telah dilakukan tersebut, tidak terkecuali bagi hitler dan kawan2, sesungguhnya mereka telah mengajarkan kami untuk berpikir luar biasa positif, khususnya dalam menyikapi segala macam keburukan yang pantas menjadi kerak neraka jahanam, adalah semata merupakan rangsangan agar kami tidak menjadi salah satu dari kerak neraka jahanam tersebut. ya tuhan, ajarkan kami untuk selalu berpikir positif. amin
ReplyDeleteAmin.
ReplyDelete1 question though... Kok bisa kepikiran Hitler, gitu loh...
Yah, harap dimaklumi. Otaknya Kocin itu gak pernah di-defrag. Jadi agak corrupted.
ReplyDelete:-p
Anyway, as long as your firewall always on, how would they know what's your standard? What do you want for your team quality of work? Or what do you expect them to do? They are not psychic to know what is inside your head.
Human reaction reflect what other human do, ignoring unreasonable internal hatred of course. Some people just damn blunt, and you can't do nothing to them :-p
Have you tried to talk with emphaty, show the road, raise the bar, encouraging and show some recognition of a little good thing they could provide?
If you have, well...may be the best is pray
:-p
@ Ronin : agreed with you.
ReplyDeleteTrue, maybe I have set a high standard.. but it's for my self and not for them.
Moreover, it's not about my standard : it's about sense of responsibility. I can accept flaws and mistakes in work, but how am I suppossed to accept irresponsibility? When they were assigned to the job,shouldn't they take the responsibility attached in the job? Should I really remind them over and over (which I actually did) as if they are children with disability to remember things?
Is it not clear enough when I told them when the deadline is and REMIND them over and over again about it?
*sigh* tuh, kan.. jadi curcol lagi. :-(