Wednesday, February 18, 2009

Klenik

Foto diambil dari : http://images.hafidztio.multiply.com/


Suka bingung sama hubungan masyarakat Indonesia dan trend perkembangan jaman. Logikanya sih, seharusnya berbanding lurus dan linear....... Tapi kalau diperhatikan, sepertinya hubungan antara pola pikir masyarakat Indonesia dan perkembangan teknologi ternyata berbentuk parabola.

Dulu ketika perkembangan teknologi belum secanggih saat ini (di mana blackberry sudah beredar di mana mana, facebook booming, provider telekomunikasi berkembang biak), sepertinya kepercayaan orang Indonesia terhadap hal hal yang berbau klenik belum terlalu luar biasa. Ya...memang tidak bisa dibilang tidak ada, tetapi masih di taraf normal lah...

Tapi justru di jaman sekarang ini....semakin banyak hal-hal yang bertentangan dengan logika yang berseliweran di televisi dan di kehidupan kita sehari hari. Mulai dari : "Ketik REG spasi PERAMAL-OON , kirim ke 6666, dapatkan informasi mengenai jodoh yang cocok untuk anda".... sampai yang lagi booming sekarang: batu PONARI. Di jaman POCARI SWEAT (maap nyebutin merk) udah banyak dikonsumsi masyarakat, ternyata jutaan orang lebih berminat minum PONARI JINX.Mbok ya kalo sakit itu ke klinik... jangan nyari yang klenik.....

Sebenarnya apa sih yang terjadi???

Tuesday, February 17, 2009

Onet


Ada yang masih inget (atau mungkin masih gandrung) dengan “Onet”? Itu loh… maenan gak mutu yang cuma perlu memasangkan 2 gambar yang sama, tapi lumayan bikin mata juling. Gambarnya diambil dari karakter film animasi “Pikachu”. Tampilannya seperti di samping ini... Nah... tau kan????

Game itu sebenernya booming 3-4 tahun yang lalu, saat saya masih jadi bagian dari ‘orang-orang rese’ yang senengnya meriksain ‘buku’ orang lain. Pokoknya jaman saya masih ngerecokin salah satu klien berinisial “T’, saya dan temen-temen senang sekali ‘mengisi waktu’ dengan bermain “Onet” ini (mengisi waktu?????? Padahal lembur melulu.. ihhihii… lemburnya ternyata main Onet). Onet ini seingat saya juga booming sebelum “Zuma Deluxe” bikin saya ketagihan, sampai-sampai rela tidur jam 2 malam hanya untuk menyelesaikan seluruh level yang ada.

Dalam rangka refreshing setelah berpusing-pusing ria dengan pekerjaan setengah hari tadi, saya iseng-iseng main ‘Onet’. Menyebalkan juga setelah menyadari bahwa kemampuan saya terdegradasi sedemikian hebatnya, sampai-sampai menyelesaikan 1 level pun tidak bisa!!!!!!!!!!!!! Akhirnya saya menyerah dan quit the game.

Di sini saya mendukung sekali ungkapan “Practice makes perfect”. Sekian – mau “latihan” dulu. Hihihi…. (ditabok bos).

Monday, February 9, 2009

Kisah si pemecah batu

Gambar diambil dari : http://www.irfankhairi.com/blog/wp-content/uploads/2008/04/breakstones.gif
Hari Minggu kemarin aku mendengarkan sebuah cerita yang sederhana, tapi mengena. Mungkin ada yang sudah pernah tahu cerita ini. Aku coba tuliskan kembali dengan versi dongeng yang sering ada di majalah Bobo, dan dengan sedikit bumbu penyedap :-p

“Alkisah di sebuah desa hiduplah seorang pemecah batu. Tak tahulah siapa namanya, karena nama pemecah batu itu tidak penting untuk disebutkan. Bapak pemecah batu ini setiap hari bekerja dari pagi hingga petang memecahkan batu di sungai untuk dijual kepada para tukang bangunan.

Suatu hari, bapak pemecah batu ini berpapasan dengan Raja yang sedang melintas di dekat tempat ia bekerja. Raja ini duduk di atas sebuah tandu yang diusung oleh selusin pria tegap yang mungkin mengkonsumsi cikal bakal produk L-men (bumbu penyedapnya sudah mulai terasa blum?) dan dikawal oleh setengah lusin perwira bertameng. Bapak pemecah batu ini hanya bisa menunduk memberi hormat sambil sedikit mengintip rombongan tersebut.

Setelah rombongan raja itu lewat, bapak pemecah batu ini bermimpi jika ia menjadi seorang kaisar (bukan hanya raja). Tentunya ia akan memiliki kuasa yang besar. Maka ia memohon kepada dewa (karena ini hanya dongeng, aku pilih untuk menggunakan dewa saja): “Dewa, aku ingin menjadi seorang kaisar yang berkuasa. Bahkan lebih berkuasa dibandingkan dengan raja tadi.” Dewa yang baik hati itu mengabulkan permintaan si pemecah batu.

Setelah berkuasa beberapa lama, sang kaisar baru ini mulai merasa tidak puas. Ia melangkah keluar dari istana dan memandang ke langit. Terlihatlah matahari yang bersinar dengan garangnya. Sang kaisar ini sekarang ingin menjadi matahari yang mempunyai kuasa menyinari seluruh dunia. Dia ingin menjadi matahari yang tak terkalahkan. Maka kembali ia meminta kepada dewa: “Dewa, menjadi kaisar rupanya tak semegah menjadi matahari. Ubahlah aku menjadi matahari, supaya aku memiliki kuasa atas bumi.” Dewa yang selalu baik hati itu pun kembali mengabulkan permintaan sang kaisar.

Senanglah hati matahari baru itu karena memiliki kuasa atas bumi. Tetapi suatu hari ia merasa jengkel karena sinarnya ditutupi oleh sekelompok awan kelabu. Jelaslah baginya bahwa kuasanya tidak absolut. “Matahari yang hebat pun bisa dikalahkan oleh awan. Dewa, aku ingin menjadi awan saja.” Kembali dewa yang masih berbaik hati itu mengabulkan permohonan si matahari.

Tak lama menjadi awan kelabu, berpencarlah titik titik air dalam awan itu menjadi hujan yang turun ke bumi. Menjadi air yang mengalir di sungai dan menghanyutkan sampah-sampah masih membuat ‘si-mantan-pemecah-batu’ ini senang. “Wah, menjadi air ternyata sangat menyenangkan. Aku bahkan bisa menyeret kayu sebesar ini ke mana aku mengalir. Ternyata menjadi air lebih berkuasa.” Tak lama ia berpikiran seperti itu, aliran air itu menghadapi batu sungai yang besar dan mau tak mau, air itu harus menyingkir dari batu itu. Maka seperti sebelum-sebelumnya, kesallah dia dan meminta kepada dewa untuk menjadi batu, karena batu lebih berkuasa daripada air. Dan jadilah ia batu sungai yang bisa membelah aliran air.

Keesokan harinya, datanglah seorang pemecah batu yang hendak memecahkan batu di sungai tempat ia berada. Melihat pemecah batu, yang mungkin masih saudaranya itu, memecahkan batu-batu besar menjadi batu kecil, maka si mantan pemecah batu itu berkata kepada dewa “Dewa, kenapa dari awal aku tidak dikasih tahu bahwa menjadi pemecah batu itulah yang paling berkuasa di antara semuanya?”

Akhir cerita boleh Anda karang sendiri. Apakah sang dewa mengembalikan lagi wujud si pemecah batu , atau dia tetap menjadi batu sungai, atau dia menjadi batu yang dipecahkan oleh pemecah batu lainnya. Tapi yang menarik buat aku adalah bagaimana kita seringkali berpikiran seperti si pemecah batu itu. Menjadi orang lain tampaknya menjadi lebih menarik dibandingkan menjadi diri kita sendiri. Seringkali kita bermimpi untuk menjalani hidup orang lain, padahal Tuhan telah merancang hidup yang sempurna untuk kita jalani.

Mungkin itu adalah nature manusia : tak pernah puas. Ini pula yang menjadi akar rasa iri hati. Tak masalah sebenarnya jika kita tidak cepat berpuas diri: tetapi jangan pernah tidak puas karena orang lain. Jangan ingin bisa karena ingin mengalahkan orang lain. Belajarlah menjadi bisa karena kita tahu kita akan berguna buat orang lain. Aku percaya dalam kehidupan ini Tuhan telah menciptakan peran setiap orang dengan cermat. Dia telah menciptakan cast yang sangat personal buat masing-masing kita. Baik itu menjadi pemecah batu, raja, kaisar, punggawa kerajaan atau orang yang menceritakan ini kepada saya. Saya juga percaya bahwa keinginan saya untuk membagikan cerita ini juga telah diskenariokan olehNya.

Jadi… yakinlah bahwa hidup yang Anda jalani saat ini… Anda yang sekarang ini…adalah skenario terindah - yang jika Anda jalani tanpa mengeluh dan iri hati – akan membuat si penulis scenario tersenyum pada akhir kisah.

Tuesday, February 3, 2009

Sekolah : dulu, sekarang dan masa depan




Siang kemarin saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa rekan kerja di pantry. Beberapa ibu-ibu mengeluhkan betapa beratnya beban anak sekolah sekarang. Tentu saja bukan hanya beban si anak saja… beban orang tua juga semakin berat dengan biaya sekolah yang luarrrrrrr biasa. Uang masuk SD saja bisa semahal uang kuliah S-2 di universitas ternama. Buseet……… apa saja sih yang mereka pelajari di sana sampai-sampai harus semahal itu?

Intinya, ibu-ibu itu bukan mengeluhkan uang sekolah, sih. (Yang mengeluhkan uang sekolah itu saya… yang menjadi terdemotivasi untuk punya anak karena memikirkan biaya sekolah di masa depan yang bakalan lebih gila lagi.) Mereka mengeluhkan sulitnya pelajaran anak-anak SD kelas I sekarang. Jauh sekali dibandingkan dengan saat mereka sekolah dulu. Anak-anak harus ekstra keras untuk catch up dengan teman-temannya. Padahal kemampuan mereka belum tentu sama.

Jika demikian gilanya anak-anak digenjot di sekolah, kenapa mutu pendidikan kita bisa dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak di luar negeri sana? Jerman, misalnya. Saya bertanya kepada ibu-ibu tersebut, sebenarnya yang dipelajari di sekolah itu apa saja? Ternyata kurang lebih sama dengan yang dulu pernah saya pelajari. Pelajaran di sekolah (tidak semua sekolah, sih....) didominasi dengan HAFALAN. Hampir semuanya harus dihafal, termasuk yang di bawah ini:

“Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.”

Dan jika di ulangan ditanyakan: Apa yang harus dilakukan jika ada orang yang berkelahi? Jawabannya haruslah : Kita harus memisahkan dan mengasihi mereka. Jika si anak menjawab lain daripada itu, berarti dia salah.

Coba baca baik-baik kalimat itu. Kalimat seperti itu harus dihafal mati. Anak kelas I SD harus memisahkan dan mengasihi orang yang berkelahi? Dan tidak boleh ada alternative lain untuk menjawab? Apa itu bukan pembodohan namanya? Apa itu bukan irrasional namanya? – sigh-

Saya mengenang lagi masa sekolah saya. Saya ingat dulu harus setengah mati menghafal pelajaran PMP (sebelum diubah menjadi PPKN), PSPB, Sejarah, IPS, IPA. Semuanya harus dihafal!!! Dan apa gunanya untuk saya ketika dewasa?

Rupanya perkembangan jaman tidak mengubah pola pembelajaran di Negara kita ini. Anak yang pintar dan juara kelas adalah anak yang pintar menghafal. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaan apa sih yang membutuhkan kemampuan menghafal yang sebegitu hebatnya? Saya pikir hanya dokter dan pengacara saja, bukan? Apakah sekolah hendak mempersiapkan semua muridnya menjadi dokter dan pengacara?

Sekarang saya sedang bersekolah kembali. Berbeda dengan kuliah saya di S1 yang semua ujiannya close-book, di sini kebanyakan ujian dilakukan dengan open book. Dan saya rasa justru di sini, understanding mahasiswa lebih diuji dengan soal-soal berupa analisa kasus. Pendekatan ini jauh lebih berguna dibandingkan dengan ujian hafalan.
Mungkin tidak adil saya membandingkan sekolahnya orang dewasa dengan anak anak SD atau SMP. Tapi sekedar pemikiran : kenapa sekolah tidak berpikir untuk mengubah pola belajar : tidak menghafal, tapi memahami. Tidak sekedar membaca, tetapi bertanya mengenai latar belakang di balik sebuah kisah. Guru tidak sekedar bercerita, tetapi justru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.

Itu sekedar pemikiran saja. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah harus bersekolah, dia tidak harus menghafal buku setiap hari. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah bersekolah, saya tidak harus mendengar dia menghafalkan kalimat: “Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.” Saya berharap dia boleh menjawab seperti ini dalam kertas jawaban ujiannya : “Jika ada orang yang berkelahi, saya akan memberitahukan Bu guru supaya Bu guru membantu memisahkan mereka, karena badan saya terlalu kecil untuk melakukan itu.”