Wednesday, May 13, 2009

Wanita-wanita istimewa


Kemarin sore, di atas sebuah metromini, ada seseorang yang nampak seperti seorang wanita, berpakaian merah dan bersepatu merah. Namun, karena saya duduk di belakangnya, saya tak dapat melihat wajahnya. Wanita itu digoda, atau tepatnya disindir-sindir oleh beberapa laki-laki di luar metromini saat metromini tersebut sedang ‘ngetem’. Saya perhatikan lagi wanita yang duduk di depan saya tersebut… dan sepertinya saya tau mengapa mereka menggodanya.

Wanita tersebut – dia adalah seorang waria, atau kerennya disebut transvestite. Sebenarnya di Jakarta, sering sekali saya melihat para transvestite ini, sehingga seharusnya saya sudah tidak ‘tergugah’ untuk memandanginya. Bukan apa apa… kaum transvestite ini seringkali lebih kemayu daripada wanita asli… termasuk dibandingkan saya – dan itu sungguh menarik perhatian.

Sambil berusaha mengalihkan pandangan saya kepada wanita tersebut (saya lebih senang menggunakan kata ‘wanita’ untuk mendeskripsikan mereka), saya mulai merenungkan bagaimana wanita-wanita istimewa tersebut seringkali di-diskreditkan oleh masyarakat umum. Pernah suatu waktu, beberapa bulan yang lalu, saya duduk di samping seorang wanita istimewa di sebuah bus, dan kejadian yang sama terjadi. Wanita itu digoda oleh para preman dan kenek di tempat bus itu ngetem, bahkan hendak disundut rokok oleh salah seorang laki-laki norak tersebut. Kontan saja wanita itu mengamuk dan marah. Untunglah tidak terjadi apa-apa, karena saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri saya jika wanita dan laki laki itu berkelahi.

Apa salah wanita-wanita tersebut, sehingga mereka mendapat perlakuan kurang ajar dan tidak adil dari masyarakat? Kata para pemuka agama : mereka berdosa karena tidak menerima kodrat sebagai laki-laki. Siapa Anda… Siapa kita untuk mengatakan bahwa mereka berdosa? Memang, perubahan gender yang mereka lakukan seolah-olah menentang keputusan Penciptanya ketika membentuk jiwa mereka di dunia ini. Apa yang mereka lakukan seolah-olah menjadi pemberontakan terhadap kekuasan mutlak yang dimiliki oleh Tuhan.

Tapi, kembali lagi… siapa kita untuk mengatakan bahwa mereka berdosa? Apakah kita Tuhan? Mereka hanya manusia yang diciptakan dengan ‘free will’ dalam mencari dan mewujudkan kebahagiaan mereka. Dan kita.. sebagai sesama makhluk ciptaannya.. bukankah telah diperintahkan untuk mengasihi sesama? Lalu mengapa kita harus mendiskreditkan mereka? Mengapa kita harus menghina mereka?

Mungkin di mata kita, mereka bukan orang yang ‘normal’. Mungkin banyak di antara kita menganggap bahwa mereka aneh... atau freak. Tapi toh, kalau dipikir-pikir, wanita-wanita istimewa ini menyayangi tubuh mereka lebih daripada orang lain. Mereka menghabiskan waktu lebih untuk berdandan menyerupai seorang wanita; mereka berusaha berbicara dengan halus dan lembut ; mereka menggoyangkan pinggul saat berjalan supaya terlihat indah. Mereka berusaha begitu keras untuk mendapatkan pengakuan sebagai seorang wanita – setidaknya lebih keras dibandingkan saya yang wanita biasa namun sering ‘nyablak’ saat bicara … yang sering tidak memperdulikan penampilan …

Jadi, saya sampai pada satu kesimpulan… mereka adalah pejuang. Dan saya bertanya kembali: Siapakah kita untuk merendahkan mereka?

Wednesday, May 6, 2009

Just mumbling

Akhirnya.... masa sibuk itu lewat sudah. Pekerjaan besar di kantor sudah saya tuntaskan... bersamaan dengan break kuliah selama 2 minggu. Dua minggu terakhir hanya saya isi dengan berleha-leha dan menikmati 'me-time'. Cuti saya habiskan dengan hanya di rumah saja :menonton film (DVD) dan melumat habis buku-buku yang sudah saya persiapkan untuk dibaca. Ah, indahnya hidup....

Hal-hal sederhana seperti itu -- tak perlu menghabiskan bensin untuk bepergian ke mana mana ...tak perlu menghabiskan uang banyak untuk membeli tiket pesawat ke luar kota -- hal hal sederhana seperti itu sudah cukup bagi saya. Padahal, dulu ketika saya masih belum menikah dan masih kos, rasanya kaki ini selalu gatal untuk keluar dari tempat kos. Jika belum saatnya gerbang di kunci, rasanya enggan untuk meninggalkan kampus dan tempat kerja.

Ternyata kesempatan yang 'sulit' diperoleh memang membuat saya menjadi lebih menghargai waktu istirahat. Kesibukan selama berbulan-bulan dalam pekerjaan dan kuliah membuat saya tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan hal lain selain belajar dan menyiapkan tugas. Betapa break selama 2 minggu ini berharga buat saya... dan betapa ini membuat saya menghargai 'waktu luang' dengan lebih baik...

Sungguh, 2 minggu ini menjadi waktu recharge buat saya... dan saya menantikan kembali waktu tersebut 4 bulan lagi!!!!!!!