Siang kemarin saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa rekan kerja di pantry. Beberapa ibu-ibu mengeluhkan betapa beratnya beban anak sekolah sekarang. Tentu saja bukan hanya beban si anak saja… beban orang tua juga semakin berat dengan biaya sekolah yang luarrrrrrr biasa. Uang masuk SD saja bisa semahal uang kuliah S-2 di universitas ternama. Buseet……… apa saja sih yang mereka pelajari di sana sampai-sampai harus semahal itu?
Intinya, ibu-ibu itu bukan mengeluhkan uang sekolah, sih. (Yang mengeluhkan uang sekolah itu saya… yang menjadi terdemotivasi untuk punya anak karena memikirkan biaya sekolah di masa depan yang bakalan lebih gila lagi.) Mereka mengeluhkan sulitnya pelajaran anak-anak SD kelas I sekarang. Jauh sekali dibandingkan dengan saat mereka sekolah dulu. Anak-anak harus ekstra keras untuk catch up dengan teman-temannya. Padahal kemampuan mereka belum tentu sama.
Jika demikian gilanya anak-anak digenjot di sekolah, kenapa mutu pendidikan kita bisa dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak di luar negeri sana? Jerman, misalnya. Saya bertanya kepada ibu-ibu tersebut, sebenarnya yang dipelajari di sekolah itu apa saja? Ternyata kurang lebih sama dengan yang dulu pernah saya pelajari. Pelajaran di sekolah (tidak semua sekolah, sih....) didominasi dengan HAFALAN. Hampir semuanya harus dihafal, termasuk yang di bawah ini:
“Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.”
Dan jika di ulangan ditanyakan: Apa yang harus dilakukan jika ada orang yang berkelahi? Jawabannya haruslah : Kita harus memisahkan dan mengasihi mereka. Jika si anak menjawab lain daripada itu, berarti dia salah.
Coba baca baik-baik kalimat itu. Kalimat seperti itu harus dihafal mati. Anak kelas I SD harus memisahkan dan mengasihi orang yang berkelahi? Dan tidak boleh ada alternative lain untuk menjawab? Apa itu bukan pembodohan namanya? Apa itu bukan irrasional namanya? – sigh-
Saya mengenang lagi masa sekolah saya. Saya ingat dulu harus setengah mati menghafal pelajaran PMP (sebelum diubah menjadi PPKN), PSPB, Sejarah, IPS, IPA. Semuanya harus dihafal!!! Dan apa gunanya untuk saya ketika dewasa?
Rupanya perkembangan jaman tidak mengubah pola pembelajaran di Negara kita ini. Anak yang pintar dan juara kelas adalah anak yang pintar menghafal. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaan apa sih yang membutuhkan kemampuan menghafal yang sebegitu hebatnya? Saya pikir hanya dokter dan pengacara saja, bukan? Apakah sekolah hendak mempersiapkan semua muridnya menjadi dokter dan pengacara?
Sekarang saya sedang bersekolah kembali. Berbeda dengan kuliah saya di S1 yang semua ujiannya close-book, di sini kebanyakan ujian dilakukan dengan open book. Dan saya rasa justru di sini, understanding mahasiswa lebih diuji dengan soal-soal berupa analisa kasus. Pendekatan ini jauh lebih berguna dibandingkan dengan ujian hafalan.
Mungkin tidak adil saya membandingkan sekolahnya orang dewasa dengan anak anak SD atau SMP. Tapi sekedar pemikiran : kenapa sekolah tidak berpikir untuk mengubah pola belajar : tidak menghafal, tapi memahami. Tidak sekedar membaca, tetapi bertanya mengenai latar belakang di balik sebuah kisah. Guru tidak sekedar bercerita, tetapi justru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.
Itu sekedar pemikiran saja. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah harus bersekolah, dia tidak harus menghafal buku setiap hari. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah bersekolah, saya tidak harus mendengar dia menghafalkan kalimat: “Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.” Saya berharap dia boleh menjawab seperti ini dalam kertas jawaban ujiannya : “Jika ada orang yang berkelahi, saya akan memberitahukan Bu guru supaya Bu guru membantu memisahkan mereka, karena badan saya terlalu kecil untuk melakukan itu.”
Intinya, ibu-ibu itu bukan mengeluhkan uang sekolah, sih. (Yang mengeluhkan uang sekolah itu saya… yang menjadi terdemotivasi untuk punya anak karena memikirkan biaya sekolah di masa depan yang bakalan lebih gila lagi.) Mereka mengeluhkan sulitnya pelajaran anak-anak SD kelas I sekarang. Jauh sekali dibandingkan dengan saat mereka sekolah dulu. Anak-anak harus ekstra keras untuk catch up dengan teman-temannya. Padahal kemampuan mereka belum tentu sama.
Jika demikian gilanya anak-anak digenjot di sekolah, kenapa mutu pendidikan kita bisa dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak di luar negeri sana? Jerman, misalnya. Saya bertanya kepada ibu-ibu tersebut, sebenarnya yang dipelajari di sekolah itu apa saja? Ternyata kurang lebih sama dengan yang dulu pernah saya pelajari. Pelajaran di sekolah (tidak semua sekolah, sih....) didominasi dengan HAFALAN. Hampir semuanya harus dihafal, termasuk yang di bawah ini:
“Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.”
Dan jika di ulangan ditanyakan: Apa yang harus dilakukan jika ada orang yang berkelahi? Jawabannya haruslah : Kita harus memisahkan dan mengasihi mereka. Jika si anak menjawab lain daripada itu, berarti dia salah.
Coba baca baik-baik kalimat itu. Kalimat seperti itu harus dihafal mati. Anak kelas I SD harus memisahkan dan mengasihi orang yang berkelahi? Dan tidak boleh ada alternative lain untuk menjawab? Apa itu bukan pembodohan namanya? Apa itu bukan irrasional namanya? – sigh-
Saya mengenang lagi masa sekolah saya. Saya ingat dulu harus setengah mati menghafal pelajaran PMP (sebelum diubah menjadi PPKN), PSPB, Sejarah, IPS, IPA. Semuanya harus dihafal!!! Dan apa gunanya untuk saya ketika dewasa?
Rupanya perkembangan jaman tidak mengubah pola pembelajaran di Negara kita ini. Anak yang pintar dan juara kelas adalah anak yang pintar menghafal. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaan apa sih yang membutuhkan kemampuan menghafal yang sebegitu hebatnya? Saya pikir hanya dokter dan pengacara saja, bukan? Apakah sekolah hendak mempersiapkan semua muridnya menjadi dokter dan pengacara?
Sekarang saya sedang bersekolah kembali. Berbeda dengan kuliah saya di S1 yang semua ujiannya close-book, di sini kebanyakan ujian dilakukan dengan open book. Dan saya rasa justru di sini, understanding mahasiswa lebih diuji dengan soal-soal berupa analisa kasus. Pendekatan ini jauh lebih berguna dibandingkan dengan ujian hafalan.
Mungkin tidak adil saya membandingkan sekolahnya orang dewasa dengan anak anak SD atau SMP. Tapi sekedar pemikiran : kenapa sekolah tidak berpikir untuk mengubah pola belajar : tidak menghafal, tapi memahami. Tidak sekedar membaca, tetapi bertanya mengenai latar belakang di balik sebuah kisah. Guru tidak sekedar bercerita, tetapi justru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.
Itu sekedar pemikiran saja. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah harus bersekolah, dia tidak harus menghafal buku setiap hari. Mudah-mudahan di suatu saat ketika anak masa depan saya sudah bersekolah, saya tidak harus mendengar dia menghafalkan kalimat: “Jika ada orang yang berkelahi, kita harus memisahkan dan mengasihi mereka.” Saya berharap dia boleh menjawab seperti ini dalam kertas jawaban ujiannya : “Jika ada orang yang berkelahi, saya akan memberitahukan Bu guru supaya Bu guru membantu memisahkan mereka, karena badan saya terlalu kecil untuk melakukan itu.”
Could not agree more with you Audi
ReplyDeleteBut at some point, the education in Indonesia is uniquely different, in a good meaning.
Mungkin dalam beberapa generasi ke depan ini bisa dirasakan. Memang standard-nya semakin tinggi tapi juga harus dilihat bahwa kecerdasan anak-anak sekarang juga semakin meningkat (dengan gizi yang lebih baik dibandingkan zaman kita dulu sepertinya :-p)
Tapi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya terutama Jepang dan Korea, standard ini belum setinggi itu. Tekanan terhadap pendidikan belum dirasakan sebesar negara itu. Dan jika memang Indonesia ingin mengejar Jepang dan Korea dalam hal teknologi, sedikit pengorbanan mungkin berharga.
Pastinya ada imbas juga, bahwa anak-anak Jepang dan Korea tidak menikmati masa kecil dan remaja misalnya. Balance itu yang sebenarnya dibutuhkan.
However, I more than believe you will grown up a great children :-)