Monday, February 9, 2009

Kisah si pemecah batu

Gambar diambil dari : http://www.irfankhairi.com/blog/wp-content/uploads/2008/04/breakstones.gif
Hari Minggu kemarin aku mendengarkan sebuah cerita yang sederhana, tapi mengena. Mungkin ada yang sudah pernah tahu cerita ini. Aku coba tuliskan kembali dengan versi dongeng yang sering ada di majalah Bobo, dan dengan sedikit bumbu penyedap :-p

“Alkisah di sebuah desa hiduplah seorang pemecah batu. Tak tahulah siapa namanya, karena nama pemecah batu itu tidak penting untuk disebutkan. Bapak pemecah batu ini setiap hari bekerja dari pagi hingga petang memecahkan batu di sungai untuk dijual kepada para tukang bangunan.

Suatu hari, bapak pemecah batu ini berpapasan dengan Raja yang sedang melintas di dekat tempat ia bekerja. Raja ini duduk di atas sebuah tandu yang diusung oleh selusin pria tegap yang mungkin mengkonsumsi cikal bakal produk L-men (bumbu penyedapnya sudah mulai terasa blum?) dan dikawal oleh setengah lusin perwira bertameng. Bapak pemecah batu ini hanya bisa menunduk memberi hormat sambil sedikit mengintip rombongan tersebut.

Setelah rombongan raja itu lewat, bapak pemecah batu ini bermimpi jika ia menjadi seorang kaisar (bukan hanya raja). Tentunya ia akan memiliki kuasa yang besar. Maka ia memohon kepada dewa (karena ini hanya dongeng, aku pilih untuk menggunakan dewa saja): “Dewa, aku ingin menjadi seorang kaisar yang berkuasa. Bahkan lebih berkuasa dibandingkan dengan raja tadi.” Dewa yang baik hati itu mengabulkan permintaan si pemecah batu.

Setelah berkuasa beberapa lama, sang kaisar baru ini mulai merasa tidak puas. Ia melangkah keluar dari istana dan memandang ke langit. Terlihatlah matahari yang bersinar dengan garangnya. Sang kaisar ini sekarang ingin menjadi matahari yang mempunyai kuasa menyinari seluruh dunia. Dia ingin menjadi matahari yang tak terkalahkan. Maka kembali ia meminta kepada dewa: “Dewa, menjadi kaisar rupanya tak semegah menjadi matahari. Ubahlah aku menjadi matahari, supaya aku memiliki kuasa atas bumi.” Dewa yang selalu baik hati itu pun kembali mengabulkan permintaan sang kaisar.

Senanglah hati matahari baru itu karena memiliki kuasa atas bumi. Tetapi suatu hari ia merasa jengkel karena sinarnya ditutupi oleh sekelompok awan kelabu. Jelaslah baginya bahwa kuasanya tidak absolut. “Matahari yang hebat pun bisa dikalahkan oleh awan. Dewa, aku ingin menjadi awan saja.” Kembali dewa yang masih berbaik hati itu mengabulkan permohonan si matahari.

Tak lama menjadi awan kelabu, berpencarlah titik titik air dalam awan itu menjadi hujan yang turun ke bumi. Menjadi air yang mengalir di sungai dan menghanyutkan sampah-sampah masih membuat ‘si-mantan-pemecah-batu’ ini senang. “Wah, menjadi air ternyata sangat menyenangkan. Aku bahkan bisa menyeret kayu sebesar ini ke mana aku mengalir. Ternyata menjadi air lebih berkuasa.” Tak lama ia berpikiran seperti itu, aliran air itu menghadapi batu sungai yang besar dan mau tak mau, air itu harus menyingkir dari batu itu. Maka seperti sebelum-sebelumnya, kesallah dia dan meminta kepada dewa untuk menjadi batu, karena batu lebih berkuasa daripada air. Dan jadilah ia batu sungai yang bisa membelah aliran air.

Keesokan harinya, datanglah seorang pemecah batu yang hendak memecahkan batu di sungai tempat ia berada. Melihat pemecah batu, yang mungkin masih saudaranya itu, memecahkan batu-batu besar menjadi batu kecil, maka si mantan pemecah batu itu berkata kepada dewa “Dewa, kenapa dari awal aku tidak dikasih tahu bahwa menjadi pemecah batu itulah yang paling berkuasa di antara semuanya?”

Akhir cerita boleh Anda karang sendiri. Apakah sang dewa mengembalikan lagi wujud si pemecah batu , atau dia tetap menjadi batu sungai, atau dia menjadi batu yang dipecahkan oleh pemecah batu lainnya. Tapi yang menarik buat aku adalah bagaimana kita seringkali berpikiran seperti si pemecah batu itu. Menjadi orang lain tampaknya menjadi lebih menarik dibandingkan menjadi diri kita sendiri. Seringkali kita bermimpi untuk menjalani hidup orang lain, padahal Tuhan telah merancang hidup yang sempurna untuk kita jalani.

Mungkin itu adalah nature manusia : tak pernah puas. Ini pula yang menjadi akar rasa iri hati. Tak masalah sebenarnya jika kita tidak cepat berpuas diri: tetapi jangan pernah tidak puas karena orang lain. Jangan ingin bisa karena ingin mengalahkan orang lain. Belajarlah menjadi bisa karena kita tahu kita akan berguna buat orang lain. Aku percaya dalam kehidupan ini Tuhan telah menciptakan peran setiap orang dengan cermat. Dia telah menciptakan cast yang sangat personal buat masing-masing kita. Baik itu menjadi pemecah batu, raja, kaisar, punggawa kerajaan atau orang yang menceritakan ini kepada saya. Saya juga percaya bahwa keinginan saya untuk membagikan cerita ini juga telah diskenariokan olehNya.

Jadi… yakinlah bahwa hidup yang Anda jalani saat ini… Anda yang sekarang ini…adalah skenario terindah - yang jika Anda jalani tanpa mengeluh dan iri hati – akan membuat si penulis scenario tersenyum pada akhir kisah.

No comments:

Post a Comment